Kamis, 06 Oktober 2011

RINDU MENTARI


Deburan ombak pantai Palippis semakin mengharu birukan perasaanku. Saat ini hanya bayangan wajahmu yang tampak menari-nari di pelupuk mataku. Aku sedih dan sangat rindu denganmu yang sudah sekian lamanya pergi dari sisiku. Di pantai ini Aku dan Rafly pernah bersama. Menikmati suasana pantai yang tenang, deburan ombak yang silih berganti datang menghampiri. Aku sangat senang saat kakiku tersentuh oleh air laut sambil bersenda gurau dengan kamu. Kamu sedang apa sekarang? Masihkah ingatanmu hanya tertuju untukku?
            Malam itu dia datang mengunjungiku. Dengan celana jean’s abu-abu dan baju kaos hitam dia datang tapi bukan malam minggu seperti biasanya. Aku jadi bertanya-tanya dalam hati, “Ada perlu apa dia kesini?”. Lama aku menunggu sampai dia memulai pembicaraan. Tapi memang perasaanku mulai tidak enak saat melihat gelagatnya yang hanya diam di kursi sambil trus menunduk seperti sedang menghitung berkali-kali jari kakinya.  
            “Tidak lama lagi aku akan meninggalkan kota ini”, dengan suara serak dia memulai pembicaraan. “ Disini tidak ada yang bisa aku kerjakan selain hanya nongkrong bersama teman-teman, tak jelas masa depanku kalau aku terus-terusan berada disini. Aku mohon Mentari, biarkan Aku pergi bersama Om Amri ke Surabaya ini demi masa depan kita juga”, harap Rafly dengan mata berkaca-kaca. Kembali suasana tenang, masing-masing kami tertunduk. Aku tidak mampu berkata apa-apa selain air mataku mulai menetes di kedua pipiku. Kenapa Aku jadi secengeng ini? Bukankah dia pergi untuk memperbaiki kehidupannya. Memang di kota ini dia hanya jadi pemuda pengangguran padahal Ayah dan Ibunya sangat mengharapkan dia jadi seseorang yang mandiri dan punya pekerjaan tetap. Hal ini pun pernah dia utarakan, tapi Aku menanggapinya santai saja karena dia pun menyampaikan dengan setengah bercanda.
               “Baiklah kalau itu sudah jadi keputusanmu”, jawabku  memecah keheningan. “Tapi kamu harus janji akan tetap setia dan tidak akan melupakan Aku. Karena sangat berat menjalani hal seperti ini”, kembali Aku menambahkan. Memang sangat berat menjalani pacaran jarak jauh, terutama mengatasi rasa rindu.
            Seperti disihir, wajah Rafly yang tadinya muram dan tidak ada keceriaan kini berubah jadi bersemangat dan ceria kembali. Senyum manisnya kini terlihatmenhiasi wajahnya. Manis banget. “Trimakasih Mentari, Aku janji akan slalu setia dan tidak akan pernah melupakanmu. Cintaku hanya untuk kamu Mentari,” Jawab Rafly meyakinkan dan penuh semangat.
            Malam itu tidak banyak kata yang terucap. Kami tenggelam dengan pikiran dan khayalan masing-masing. Aku memikirkan saat bagaimana nanti saat Rafly tidak disini lagi, apa Aku bisa melewati hari-hari tanpa dia? Dia lah yang selama ini membuat hari-hariku selalu ceria dan penuh tawa. Dia sangat humoris dan banyak disenangi oleh warga disini. Dia banyak teman. Dia juga suka menolong orang-orang yang mengalami kesulitan. Di dekatnya, Aku selalu merasa aman dan bahagia.  Dia banyak ditaksir oleh cewek-cewek di kota Wonomulyo ini, tapi Aku sangat percaya dengan kesetiaannya. Walaupun pernah juga Aku cemburu kalau ada cewek yang menyapa mesra Rafly di depanku. Tujuannya memang ingin membuat hubunganku dengan Rafly berantakan. Tapi usaha cewek tersebut pastinya hanya sia-sia karena kami tetap baik-baik saja.
            Hubungan kami sudah berjalan 3 tahun sejak Aku kelas 3 SMU dan Rafly semester 5 di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Polman. Banyak juga masalah- masalah yang kami hadapi. Tapi tidak membuat hubungan kami jadi goyah. Di antara teman-teman kami yang punya pacar, kami termasuk pasangan yang romantis dan paling akur. Mereka saja yang tidak tahu kalau kami juga sering bertengkar. Bedanya dengan mereka, kalau kami lagi ada masalah kami selesaikan sendiri tanpa harus bercerita ke teman atau sahabat, termasuk sahabatku Yani. Aku hanya cerita kebahagiaanku saja pada Yani. Karena Aku berfikir, ngapain cerita masalah kita ke orang-orang kalau masalah itu bisa kita selesaikan sendiri. Yani dan teman-teman sangat mengagumi hubungan Aku dan Rafly. “Pasangan paling akur”, kata Yani waktu kami sedang duduk-duduk di teras rumahnya sore hari. “Ya ialah”,  Aku menjawab dengan mantap. Yani tersenyum sambil mengangguk tanda setuju.
            Kepergian Rafly untuk waktu yang lama sangat membuatku terpukul dan terpuruk. Walau alasannya demi masa depan kami. Entah mengapa dari awal Aku mengiayakan di bibir tapi hatiku sangat tidak ikhlas melepasnya. Mungkin karena selama ini hanya dia yang selalu menyemangati hidupku. Dia selalu datang memberikan guyonan-guyonan hangatnya. Dimana pun dia berada orang-orang sekitarnya selalu merasa terhibur. Itulah Rafly, sosok yang menyenangkan tapi kini dia jauh. Jauh dan sangat jauh.
Hari-hari yang kujalani juga biasa-biasa saja sejak kepergian Rafly. Sehari-harinya Aku kuliah di PTS yang sama dengan Rafly dan telah duduk di semester 5. Rafly sudah sarjana sejak satu tahun yang lalu. Suasana di angkutan umum atau pete-pete (sebutan angkutan umum di kota Polman)  hari ini tenang karena hanya ada Aku, pak supir dan 2 penumpang lain yang menuju Wonomulyo. Aku memandangi setiap jalan yang dilewati pete-pete merah yang sedang kutumpangi. Setiba di terimal wono Aku melanjutkan perjalananku dengan becak sebelum akhirnya Aku tiba juga di rumah setelah melewati panasnya kota Wonomulyo.
Aku menaiki tangga rumah dengan sangat lesu. Terdengar suara orang bercakap di ruang tamu dengan ibuku. Suara itu sudah tidak asing lagi bagiku. Kak Yanti! Kak Yanti adalah kakak dari Rafly. Ya Kak Yanti pemilik suara itu. Tapi mengapa suaranya terdengar parau dan sepertinya sedang menangis. “Ada apa dengan Kak yanti?” tanyaku dalam hati. Aku pun mempercepat langkahku menuju ke atas. Di ruang tamu terlihat ibu dan Kak Yanti sedang duduk, seketika Kak Yanti menghentikan pembicaraan dan spontan keduanya menengok ke pintu ketika Aku memberi salam. “Assalamu Alaikum”, ucapku. “Waalaikumsalam”, jawab keduanya. Mata mereka masing-masing telah sembab dengan air mata. Aku semakin bingung dan mulai kuatir. Cuaca panas kota Wono siang ini betul-betul membuat kepalaku pusing ditambah kebingungan yang ibu dan Kak Yanti ciptakan hari ini.
“Duduklah Mentari, Yanti ingin berbicara dengan kamu”, kata ibu mengajak sambil menyeka air matanya. “Ada apa ini? Kenapa Ibu dan Kak Yanti menangis? Apa yang terjadi dengan Kak Yanti?” tanyaku penasaran. “Mentari, Rafly......... Rafly Mentari”, ucap Kak Yanti terhenti dan terus menangis sambil memelukku. Aku semakin bingung, kubalas pelukan Kak Yanti. Kurasakan dadaku sesak, kakiku lemas dan kepalaku mulai pusing. Aku telah menduga kemungkinan terburuk telah menimpa Rafly orang yang paling Aku sayangi. “Rafly telah meninggalkan kita semua Mentari”, Kak Yanti melanjutkan dengan terbata-bata. “Dia kecelakan mobil di Surabaya tadi pagi saat menjalani tugas kantornya”. Lanjut Kak Yanti lagi. Tapi Aku sudah tidak mendengar kata-kata Kak Yanti selanjutnya. Menangis pun tak sempat saat Kak Yanti menjelaskan mengapa  dia dan ibu menangis sedih hari ini. Karena semua terlihat sangat gelap, kepala pusing dan Aku pingsan!
Saat Aku sadar, di sisiku ada ibu dan  dan Yani. Tidak terlihat Kak Yanti. Seolah ibu tahu apa yang ada di pikiranku beliaupun menjelaskan kalau Kak Yanti sudah pulang karena dia ditugasi untuk mengurus segala keperluan di rumahnya menyambut kedatangan jenazah Rafly. “Tidak mungkin Rafly meninggalkan Aku Bu, tidak mungkin! Dia menyayangi Aku, dia janji akan kembali untuk Aku”, ucapku sambil menangis. Aku sangat sedih dengan kepergian orang yang paling Aku sayangi. Aku seperti tidak punya semangat lagi dalam hidup ini. Rafly telah dipanggil oleh Yang Kuasa. Dia meninggalkan semua kenangan yang pernah kami lalui bersama. Secepat itu dia pergi.
Dini hari jenazah Rafly tiba dari Surabaya. Dan keesokan harinya barulah dimakamkan di kota Wono. Suasana haru terus mewarnai pemakaman Rafly. Sosok paling baik di antara kami itu telah pergi. Aku pun tidak henti-hentinya berdoa untuk Rafly di tengah-tengah prosesi pemakaman, semoga dia tenang di sisi-Nya dan ditempatkan di antara orang-orang yang beriman.
“Terimalah kenyataan kalau Rafly telah tiada Ri”, kata Yani beberapa lama setelah kepergian Rafly. Karena dia ingin mengenalkan Aku dengan keluarganya. “Dia baik Ri, dia juga penyayang”, ucap Yani meyakinkan. “Tapi tak ada yang sebaik Rafly. Ah...sudahlah Yan, tak ada gunanya kamu trus membujuk Aku. Rafly sudah mendapat tempat terindah di hatiku. Tidak ada yang dapat menggantikannya walau dia seorang pangeran sekalipun”, Aku menegaskan kepada Yani. Yani tidak berhenti sampai di situ. Tidak bosan-bosannya dia mengigatkan kalau Rafly tidak mungkin kembali dan Aku harus jadi wanita yang tegar. Dia adalah sahabat yang baik yang tidak pernah rela melihat sahabatnya terus-terusan dirundung duka yang berkepanjangan.
Kenyataannya Aku memang sangat lemah saat ditinggalkan Rafly. Aku menyelesaikan kuliahku dan mendapat gelar sarjana dengan seadanya. Tanpa prestasi dan nilai yang biasa saja. Mencintai seseorang sangatlah menyakitkan apabila orang yang kita cintai harus pergi dengan begitu cepat meninggalkan semua kenangan yang pernah terukir. Tapi hidup haruslah berjalan terus ke depan. Tidak ada salahnya mengingat masa lalu tapi tidak lantas membuat hidup ini harus berhenti berjalan karena masa lalu itu penuh duka. Tatap masa depan Mentari! Perjalanan masih sangat panjang! Kata-kata inilah yang selalu terngiang di telingaku setiap kali Aku selesai shalat dan berdoa untuk Rafly.
Air laut pantai Palippis kembali menyentuh kakiku. Sejuk terasa sesejuk hatiku saat ini melihat dua anak balita dan seorang pria sedang bermain pasir-pasiran di pantai Palippis yang sejuk. Anak perempuan itu berumur 2 tahun dan anak laki-laki yang satunya berumur 4,5 tahun. “Mamaaaaa, ikut main dong”, kata anak laki-laki itu setengah berteriak. “Ya sayang”, Aku berdiri dan berjalan menuju ke arah anak-anakku dan pria yang bersama mereka. Ya, mereka kedua anakku dan pria yang bersama mereka adalah suamiku. Haris namanya. Dia pria baik, setia dan sangat mencintaiku. Aku menjadi wanita paling beruntung karena limpahan kasih sayangnya. Yani yang memperkenalkan Haris padaku setelah 2 tahun kematian Rafly. Yani benar, tidak mungkin Aku terus-terusan mengharapkan Rafly yang tidak mungkin kembali. Aku pernah mencintanya melebihi apapun dan cinta itu telah terkubur bersama jasadnya. Hanya doa yang selalu Aku panjatkan untuknya semoga dia disana juga bahagia seperti Aku disini dan mendapat tempat terindah di sisi-Nya. Aku ke pantai Palippis saat ini atas izin Haris. Hari ini adalah hari ulang tahun Rafly. Sejak Aku mengenal Haris, setiap tahun kami ke Palippis yang merupakan tempat favorit dari Rafly dan Harislah yang punya ide ini. Dia tidak keberatan Aku mengenang Rafly, karena itu hanya sebatas kenangan saja. Cinta dan pengabdianku kini dan seterusnya hanya untuk Haris dan anak-anakku.
Bone, 7 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar